I Still Love You

Di tengah ramai malam kota Jakarta ini, aku ingin berbagi cerita ku. Sebelumnya perkenalkan nama ku Vania atau lebih sering dipanggil Vani. Sekarang aku sudah berusia 25 tahun dan menjadi konglomerat akibat dari kepiawaian ku dalam meneruskan bisnis orangtua ku, yang keduanya telah tiada. Namun tetap, aku bukan siapa - siapa sekarang. Namun dahulu, aku sempat menjadi seseorang yang sangat bahagia dan merasa sangat berharga.

Jakarta, 2005
Aku baru saja masuk SMP swasta yang dinobatkan menjadi SMP swasta termahal di Indonesia. Bukan hanya karena fasilitas yang memadai, namun juga karena sekolah itu menampung siswa dan siswi yang memiliki 'kebutuhan khusus'. Mungkin sekarang sudah banyak sekolah inklusi seperti SMP ku dulu. Namun pada zaman ku, mencari guru yang mengerti akan hal itu amat lah sulit. Sekalinya ada, pasti meminta upah yang besar.

Tahun pertama aku duduk di bangku SMP itu, aku cukup merasa jengkel dengan perbedaan itu. Karena mereka yang berkebutuhan khusus tersebut tidak hanya bermasalah dalam pelajaran, tapi juga dengan sikap mereka. Bahkan aku tak luput dari cakaran anak - anak yang seperti itu. Namun aku bukan orang yang gampang menyerah dan pindah sekolah. Karena mau bagaimana juga, aku telah mendapatkan teman dan bahkan sahabat di sana.

Semua persepsi ku terhadap anak berkebutuhan khusus atau yang kami sering panggil 'ABK' itu berubah saat aku naik ke kelas 2 SMP dan bertemu Aji, siswa ABK yang menurut ku berbeda. Ia memang bukan siswa ABK yang pasti pertama kali muncul di benak kalian. Tidak sama-sekali. Ia merupakan sosok yang bisa dibilang biasa saja, sopan dan baik, kekurangannya hanya kesulitannya dalam berhitung. Berbanding terbalik dengan ku yang amat pintar dalam pelajaran matematika dan buruk dalam pelajaran seni rupa, ia malah pandai menggambar, bermusik dan malas menghitung. Aku mengenalnya karena kami sempat satu kelompok saat ujian praktik pelajaran IPA. Namun kami belum dekat saat itu. Aku tertarik melihatnya saat itu, aku melihat ada yang berbeda dengan dirinya jika dibandingkna anak laki - laki kebanyakan yang sebaya dengannya. Aku selalu ingat akan gitar kesayangannya yang ia selalu bawa ke sekolah. Aku juga tak akan lupa bahwa aku selalu sengaja masuk kelas lebih awal agar aku dapat mendengar ia memetik gitarnya dan bernyanyi senandung merdu yang memang cocok untuk didengarkan pada pagi hari. Namun karena malu, aku pura - pura mendengarkan lagu dari I Pod ku dengan earphone yang menempel di kuping ku. Padahal yang aku dengarkan hanyalah lagu yang ia nyanyikan.

Hari berlalu dengan diiringi larutnya pandangan tajam ku tepat ke hatinya, apa yang ia perbuat dan tingkah lucunya. Apapun yang ada pada dirinya, hanya satu kata yang dapat mendeskripsikannya, sempurna. Lama - lama aku tak tahan hanya diam melihatnya. Ku mulai cari cara untuk medekatkan diri kepadanya. Kendala pasti ada dalam setiap pendekatan, namun ini lebih parah dari kelihatannya. Pasalnya ia tidak bermain sosial media apapun jenisnya. Sungguh beda dengan ku yang memakai hampir semua sosial media yang ada. Satu - satunya yang aku tahu hanyalah nomor telepon rumahnya. Ku ragu untuk mwnghubunginya kala pertama itu. Ku takut jika yang mengangkat adalah mamahnya. Jelas, ku urungkan niat ku itu.

Kala itu saat pengambilan rapor siswa - siswi di SMP ku. Jelas, orangtua murid hadir serentak. Kecuali mamahnya Aji. Ku memberanikan diri menghampirinya dengan menggenggam alasan untuk menanyakan ketidak hadiran orangtuanya itu. Percakapan tak dapat dihindari kala itu.

"Hey Ji..." sapa ku cukup singkat.

"Ya..." jawabnya sedikit murung.

"How are things?" tanya ku lagi dengan bahasa sehari - harinya.

"Good enough..." jawabnya tetap murung.

"Well, berapa nilai math mu?" tanya ku dengan tidak yakin.

"Ayah ku pasti marah bila mendengarnya" jawabnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

"Lalu dimana ayah mu sekarang?" tanya ku lagi penasaran.

"Ia sibuk mencari uang untuk sekolah ku, begitu juga mamah ku. Sekarang aku menghancurkan harapan mereka dengan nilai jelek ku ini" jawabnya hampir menangis.

Entah mengapa, wajah murungnya itu membuat ku simpati dan juga semakin suka kepadanya. Aku mencoba menghiburnya dengan cara mengeluarkan buku tulis ku dari tas ku, lalu aku mulai menggambar wajahnya sebisa ku. Tidak lama, ia bertanya kepada ku.

"Who's that?" tanynya.

"Kamu..., jelek ya gambar ku?" tanya ku.

"Hahaha, nggak kok..." jawabnya.

"Udah lah Ji, gausah sedih... I'm here with you..." balas ku berusaha menenangkannya.

Ia hanya tersenyum dan menatap ku agak lama. Kami berdua saling bertatapan dengan penuh rasa di dalam hati kita berdua. Tiba - tiba ia memegang tangan ku dan bertanya kepada ku.

"Vani, ku suka sama kamu, mau ga jadi pacar ku?" tanyanya yang sepontan membuat ku kaget.

"Ku juga suka sih Ji sama kamu. Tapi memang orangtua kamu akan suka sama aku?" tanya ku memastikan.

Seketika Aji langsung mengambil handphonenya dan menghubungi mamahnya.

"Ma..., ku boleh pacaran nggak?" tanyanya meminta.

"Siapa gerangan perempuan itu nak, apa kamu yakin?, mama sungguh takut kamu sakit hati" jawab mamahnya sembari balas bertanya.

"Dia Vani ma..., ku cinta dengannya karena ku percaya ia akan dapat menetralisir diri ku saat ku menangis jika kena marah ayah" jawab Aji polos.

"Kamu ada - ada saja, yasudah... ajak ia ke rumah hari ini untuk makan malam bersama ya nak... bisa?"

*Aji langsung menoleh kearah ku yang juga sedang mendengar percakapan tersebut dan Aku langsung mengangguk

"Iya ma, bisa" balas Aji sedikit tersenyum.

Aku pun langsung mengajak Aji bertemu orangtuanya yang sedari-tadi masih berbincang dengan orangtua murid lainnya. Orangtua ku memang merupakan tipikal orangtua murid yang rajin mendatangi acara yang diadakan sekolah. Jangankan pengambilan rapor, acara - acara sepele pun mereka hadiri dengan penuh antusias. Aji pun bertemu dengan kedua orangtua ku dan Aji langsung menyalami mereka satu-persatu dengan sopan. Aku yang melihat kecanggungan Aji didepan orangtua ku langsung membuka perbincangan.

"Mah, yah, kenalin ini Aji" kata ku sembari tersenyum.

"Oalah ini toh yang namanya Aji..." balas mamah ku dengan antusias.

"Pantesan ma anak kita betah sekolah sekarang, nemu cowok tampan gini..." timpal ayah ku mencoba mencairkan suasana.

"Iya tante, om, saya Aji dan saya minta izin jika boleh" jawab Aji sedikit gugup.

"Izin apa nak?, kalau hal baik pasti boleh kok" jawab mamah ku ramah.

"Ah..., paling nonton mah... . Biasa kan anak muda begitu" timpal ayah ku lagi.

"Hmmm, masa iya om baru kenal orangtuanya udah berani ajak nonton" jawab Aji polos.

*Kedua orangtua ku pun terkejut melihat etika Aji yang menurut mereka masih menjaga moralnya.

"Yaampun nak, masih ada cowok kayak nak Aji ya ternyata..." balas mamah ku sembari mengelus rambut Aji.

"Lantas, kamu mau izin apa nak?" tanya ayah ku singkat.

"Jika boleh, aku ingin mengajak Vania makan malam bersama dengan keluarga ku di rumah ku om, tante" balas Aji menjelaskan.

*Kedua orangtua ku kembali dibuat kaget. Mereka merasa seperti ingin menikahkan aku cepat - cepat saat itu.

"Boleh aja sih nak, tapi Vania musti ganti baju dulu nih..., masa iya pake begini ketemu mama dan papanya nak Aji" balas mamah ku.

Aji pun setuju dengan hal itu dan ia juga diajak untuk ikut ke rumah ku dahulu. Aji pun menuruti saja dan langsung pergi dengan kami menuju rumah Vania.

Sesampainya di rumah ku, ia melihat sekeliling sudut ruangan rumah dan ia kaget ketika melihat koleksi mainan ayah ku. Ia merasa seleranya dengan selerah ayah ku sama. Hanya bedanya, Aji tidak punya diorama koleksi mainan dirumahnya. Jadi saja ketika ia melihat pemandangan itu, ia terbelalak bak mengunjungi museum mainan. Ayah ku yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya, tersenyum dan merasa bahwa Aji memang cocok untuk ku. Ia berpikir jika nanti Ia meninggalkan ku untuk selama - lamanya, akan masih ada Aji yang akan menggantikannya. Harus ku akui, Aji dan ayah ku memang memiliki beragam kesamaan. Mulai dari kesukaan, cara bicara saat serius dan tingkahnya. Tak heran ketika ku melihat Aji dan ayah dapat akrab dengan hitungan detik.

Jam sudah menunjukan pukul 7 malam dan aku sudah siap dengan kemeja santai dan celana jeans biru yang ku kenakan. Ku hanya berpegang teguh kepada pernyataan mamah ku tentang kecantikan diri ku. Ketika ku berjalan keluar dari kamar ku menuju ruang tamu, aku menatap Aji dan ia pun menatap ku balik. Ia tersenyum namun tak berkata apa - apa. Kami pun langsung pergi ke rumah Aji.

Tibalah ku dirumahnya yang bisa dibilang begitu mewah nan megah. Padahal aku baru sampai pada gerbang rumahnya. Jujur, ku tak menyangka. Karena di sekolah, Aji tidak pernah memakai sepatu mahal, dompet mahal dan juga seragamnya yang tak ia apa - apakan. Mengingat pada zaman ku SMP, celana pinsil dan kemeja sekolah dengan gulungan di lengan, tengah menjadi kecenderungan. Tak lama setelah ayah ku menekan bel yang disediakan didepan gerbang otomatis rumah Aji, suara halus pun keluar dari pengeras suara yang ternyata ada di samping bel itu.

"Ya, siapa ini?" tanya seseorang itu.

"Halo bu, saya ayahnya Vania pacarnya mas Aji" balas ayah ku sedikit bergurau.

Tak lama gerbang pun terbuka lebar. Nampak lah rumah besar Aji. Bagi ku rumahnya seperti tuga rumah besar digabung menjadi satu rumah. Ku makin heran dengan Aji, saat ia ke rumah ku yang sudah pasti tidak ada apa - apanya dengan rumahnya itu, ia tetap merasa nyaman dan betah. Kami pun langsung diajak masuk oleh pekerja rumahnya dan dipersilahkan duduk di meja makan yang menurut ku terlalu panjang untuk hanya di isi oleh kami semua. Tak lama setelah kami duduk, kedua orangtua Aji datang dan menyalami kami semua dan tak lupa mencium Aji. Tanpa basa - basi, mereka berdua langsung membuka pembicaraan.

"Selamat datang Vania, mama, dan ayahnya..., perkenalkan nama saya Indri dan ini suami saya Robi" sapa mamahnya Aji kepada kami.

"Iya mbak, terimakasih udah ngundang Vania untuk makan malam bersama. Perkenalkan juga saya Dini dan ini suami saya Budi" balas mamah ku.

"Oalah ternyata ini yang namanya Vania. Cantik sekali kamu nak..." puji mamahnya kepada ku.

"Terimakasih tante..." jawab ku singkat sedikit gugup.

"Hmmm, sembari nunggu makanannya siap tante mau nanya deh, kenapa kamu mau sama anak tante?" tanya mamahnya yang membuat ku sedikit terkejut.

"Awalnya aku sama Aji satu kelompok pelajaran tante dan ku liatnya Aji beda sama cowok - cowok lainnya. Kayak ada yang beda aja dari dia yang buat aku nyaman kalo deket dia" jawab ku tegas namun sedikit malu.

"Aji itu anaknya diluar dugaan ya mbak, sangat - sangat sopan dan sederhana. Ga kayak temen - temen cowok Vania lainnya yang begitu - begitu" timpal mamah ku mendukung.

"Yah, terimakasih ya nak, jeng. Aji emang kami jaga etikanya, kami ajarkan kesopanan dan kesederhanaan. Ya bersyukur juga Aji anaknya memang penurut sih..." jawab mamahnya menjelaskan.

"Waduh, kalo Vania ini anaknya lebih ceplas - ceplos dan aktif sekali, jadi malu saya..." balas ayah ku bergurau.

"Ish ayah..." timpal ku tak suka.

"Lho ga apa - apa, namanya pasangan itu memang harus saling mengisi. Kayak saya aja pendiem dan ibunya Aji bawel sekali" jawab ayahnya.

*Kami semua pun tertawa bersama dan langsung menyantap hidangan yang baru disediakan

Setelah kami semua kenyang dan waktu sudah larut malam, aku dan orangtua ku pamit pulang. Diperjalanan pulang, ku tak dapat lepas dari pikiran ku akan kejadian besar dalam hidup ku hari ini. Mulai saat itu hidup menjadi lebih menyenangkan. Setiap kali ku akan pergi sekolah, ku selalu memastikan dandanan ku dari ujung kaki sampai kepala. Ku tak ingin terlihat cacat sedikitpun. Ku seperti ingin terlihat sempurna didepan Aji yang kuanggap bukan hanya pacar ku, tapi juga calon suami ku kelak. Di kelas pun suasana juga sudah berbeda dari sebelumnya. Aku dan Aji duduk bersama dengan jarak yang makin rapat dan ku selalu bersandar di bahunya ketika sedang istirahat. Aji yang tadinya tidak pernah ke khantin, menjadi lumayan sering untuk membelikan ku makanan ringan kesukaan ku. Hari - hari ku menjadi semakin menyenangkan pada saat itu.

Namun yang namanya hubungan antar manusia, pastilah tidak berjalan dengan mulus selamanya. Aji saat itu merasa aku sudah berubah. Ia tidak suka dengan sikap ku. Saat itu aku bingung dan baru kini ku sadari apa yang Aji tak suka dari diri ku saat itu. Jujur, aku memang sedikit kurang menghargai kehadiran Aji dalam setiap momentum yang kami lewatkan. Itu karena aku berpikir aku dan Aji akan selali bertemu. Hal itu menjadikan pertemuan kami tidak se-spesial dulu saat kami masih ditahap pendekatan satu sama lain. Namun tidak demikian dengan Aji. Aji masih saja antusias dan ku rasa masih sama dengan yang dulu. Mungkin juga karena sikap ku yang demikian, membuat Aji menjadi curiga kepada ku. Ia curiga jika aku dekat dengan laki - laki lain. Lebih lagi saat itu aku memang memilih berteman dengan laki - laki dibandingkan perempuan. Karna menurut ku, berteman dengan perempuan hanya akan mendapatkan sesuatu yang tak baik. Karena siswi - siswi di sekolah ku sering kali membicarakan siswi lainnya. Namun banyaknya teman laki - laki ku, membuat Aji cemburu dan menebalkan rasa curiga yang akhirnya melahirkan keposesifan dari hati dan pikirannya.

Suatu ketika ku melihat Aji sedang latihan bela diri di lapangan sekolah ku. Terang saja ku terkejut dan menghentikan langkah ku. Karena setau ku Aji tak ada minat ataupun bakat di situ. Lalu tanpa berpikir panjang aku menghampirinya dan bertanya.

"Ji, kamu ngapain?" tanya ku heran.

"Jangan ganggu, kata Sabamnya aku harus konsen" katanya tegas.

"Kok kamu gitu sih ngomong ke aku!" jawab ku sedikit marah.

"Hei kamu! Pacarannya nanti aja!" kata Sabam atau pelatih bela diri itu.

Aku pun pergi menjauh dari hadapan Aji yang sedang latihan. Namun ku tak dapat berpaling terlalu jauh. Ternyata rasa penasaran ku mengalahkan ego ku. Ku memutuskan untuk menonton Aji latihan saat itu. Ku melihat aji menendang sangat keras dan menghasilkan bunyi yang sangat kencang seperti mengisi penuh seluruh ruangan di kuping ku. Ku kaget dan bertanya - tanya dalam hati. Saat itu ku takut Aji akan melakukan hal yang tidak - tidak, walau ku tetap yakin jika Aji tidak akan berbuat hal yang tercela. Setelah 30 menit ku menanti Aji yang sedang latihan, Aji pun beranjak dari lapangan dan menuju kearah ku.

"Aji!" seru ku sedikit membentak.

"Apa?" balasnya singkat.

"Kamu buat aku takut tau ga!, ngapain coba kamu belajar bela diri gitu?" jawab ku kembali bertanya.

"Aku lihat Rando ikut ini juga, jadi ku ikut saja. Eh dia tidak muncul hari ini..." jawabnya polos.

Jujur, mendengar jawabannya aku menjadi lebih lega. Karena Aji dan Rando (sahabatnya) sangat akrab dan sering melakukan banyak hal bersama. Jadi mungkin wajar saja jika Aji ikut kehiatan ekstra kulikuler itu. Aku pun langsung menggandeng Aji dan mengajaknya untuk mengunjungi rumah ku dahulu sebelum ia pulang. Mamah ku memang menyuruh ku untuk mengajak Aji mampir ke rumah ku. Karena mamah ku sedang memasak makanan kesukaan ku hari itu. Aji pun tidak menolak dan segera ikut dengan ku.

Sesampainya kami di rumah ku, mamah ku langsung mencium dan memeluk ku serta Aji. Setelah beberapa bulan kami berpacaran, Aji dan keluarga ku memang menjadi sangat dekat. Tanpa banyak basa-basi, mamah ku langsung mempersilahkan Aji untuk duduk bersama di ruang makan sederahana kami. Mamah ku bercerita banyak kepadanya. Mulai dari masa kecil mamah ku, kebiasaan jelek ku, hingga tentang makanan yang ia masak saat itu. Entah mengapa, Aji selalu bisa membuat mamah ku berbincang dengan seru dan antusias. Ku merasa seperti sudah ada koneksi diantara Aji dan mamah.

"Ngomong - ngomong, kenapa sih nak Aji suka sama Vania? Kan jelek..." kata mamah ku bertanya sembari meledek ku.

"Kalau Vania aja jelek, yang cantik seperti apa tante?" jawab Aji sambik menatap ku.

"Ah, kamu bilang gitu karena lagi ada Vanianya sekarang..." jawab mamah ku.

"Tidak lah tante, buktinya belakangan ini seperti banyak sekali laki - laki yang membicarakan Vania di sekolah" jawab Aji menjelaskan.

"Tapi kan ku cuma diemin aja..." timpal ku.

"Diemin apa? Kamu sering kan bermain dengan mereka juga" jawab Aji membantah.

"Apa benar itu Vania?" tanya mamah ku sedikit serius.

"Iya mah..., tapi aku gatau kalau mereka suka sama aku..." jawab ku membela diri.

"Ya Tuhan, kasihan dong nak Aji Van... . Lagian kamu dari dulu masih aja suka main sama laki - laki. Liat tuh nak Aji... itu pacar kamu!" tegas mamah ku sedikit marah.

"Ga apa - apa tante, mungkin saya yang harus berjuang menghadapi ini" balas Aji berusaha menenangkan.

Mamah ku pun menatap Aji dan memegang tangannya. Sepertinya mamah ku benar - benar salut dengan kesabaran Aji.

Sejak makan bersama itu, aku jadi berpikir dan bingung. Karena aku merasa sulit untuk tidak bercengkrama dengan teman - teman ku yang notabene laki - laki itu. Tapi di sisi lain, aku kasihan terhadap Aji yang sudsh teramat mencintai ku itu.

Jakarta, 2009

Hubunga  ku dengan Aji mencapai umur 3 tahun. Aku dengannya terasa semakin jauh. Entah perkara siapa, yang jelas Aji selalu malas setiap bertemu aku. Disatu sisi, kedua orangtua kita semakin akrab dan dekat. Aku bingung, karena kata hati ku menyatakan ingin menyudahi hubungan tapi realita berkata lain. Aku menjelma menjadi orang yang tak setia lagi. Diam - diam dibelakang Aji, aku mulai mencoba dekat dengan laki - laki lain. Hal itu entah mengapa tak diketahui oleh Aji dan ku selali bisa mengelabui Aji setiap saat aku ada janji dengan selingkuhan ku. Disatu sisi aku amat senang, tapi di sisi lain ku merasa bersalah.

Malam itu hujan turun deras membasahi Jakarta. Ku sedikit cemas kala itu. Karena Aji tak membalas pesan ku sedari pagi. Walau ku sudah berselingkuh dengan Robi, aku masih memiliki perasaan kepada Aji. Saat itu ku takut jika Aji sudah mengetahui kelakuan busuk ku dibelakangnya dan ku juga takut dia melakukan hal yang bodoh. Tak lama telepon rumah ku berdering. Mamah ku langsung mengangkatnya. Entah apa yang seseorang itu katakan, yang jelas mamah ku langsung menangis seketika itu.

"Mamah kenapa?" tanya ku polos.

"Vani!!" jawab mamah ku sembari menangis kejar.

"Kenapa mah?!" tanya ku sedikit terkejut.

"Kamu yang sabar ya nak..." jawabnya sambil memeluk ku.

"Ada apa mah?" tanya ku yang masih tidak mengerti.

"Aji udah nggak ada Vani..." jawab mamah ku yang langsung disambut dengan tangisan ku.

Dunia ku seakan terhenti saat itu. Ku ingin berteriak sekuat tenaga memanggil namanya. Aji, orang yang menjadi cinta pertama ku dibangku SMP, kini telah meninggalkan aku selama - lamanya. Seseorang yang pernah berhasil membuat ku tertawa, menangis, merindu dan menunggu, kini tidak akan kembali lagi kehadapan ku. terbayang dibenak ku akan wajah tampannya saat terakhir kali kita bertemu. Ku marah pada diri ku sendiri yang tak dapat membuatnya tersenyum pada hari - hari terakhirnya hidup. Ku menyesal karena aku malah mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan Robi.

Mamah ku langsung mengajak ku dan ayah ku pergi ke rumah Aji untuk melayat. Jujur, rasanya ku tak sanggup melihat jenazahnya. Namun aku tak mau menjadi orang yang tak ada di sampingnya pada saat - saat terakhir ia ada di atas permukaan tanah. Aku pun memutuskan untuk ikut orangtua ku ke sana. Sesampainya di sana, aku melihat 3 orang sahabat Aji sudah berada di depan pintu rumahnya. Mereka juga menyambut kedatangan ku dengan ucapan bela sungkawa. Tangisan ku tak tertahankan saat aku sudah memasuki rumahnya dan melihat jenazah Aji yang sudah dibungkus kain kafan, sehingga membuat ku tak dapat melihat mukanya secara utuh lagi. Tak kuat dengan pemandangan itu, aku memutuskan untuk mengasingkan diri ke bagian taman dari rumah itu. Tiba - tiba ku melihat seseorang yang mirip seperti Aji sedang duduk tenang dikursi taman. Karena aku penasaran, aku pun mendekati sosok itu dan duduk di sebelahnya.

"Kamu siapa?" tanya ku singkat.

"Aku Aji Vani..." jawabnya.

"Hah!, jangan bergurau kamu!" seru ku terkejut.

"Aku rohnya Aji yang masih mencintai kamu, sama dengan Aji mencintai kamu" jawabnya sambil menatap ku.

"Aji, aku minta maaf ya karena aku udah khianati cinta kamu" jawab ku sambil menangis.

"Iya, aku tahu kok. Kamu berselingkuh dengan Robi kan?, seriusin aja sama dia dan tolong lupakan aku" jawabnya.

Aku pun beranjak tanpa peduli hal itu nyata atau tidak. Ku langsung menghampiri mamahnya Aji untuk mengucapkan ucapan bela sungkawa dan memeluknya. Mamahnya sangat senang saat ku memeluknya.

"Nak, entah mengapa setiap tante melihat mu, tante seperti melihat Aji" kata mamahnya tiba - tiba.

"Tante yang sabar ya..." jawab ku sambil terus memeluknya.

"Apa kamu sudah tahu penyebab Aji meninggal nak?" tanya mamahnya.

"Belum tante..." jawab ku polos.

"Ikut tante yuk" ajak mamahnya.

Mamahnya langsung membawa ku menuju garasi rumahnya yang sangat besar itu. Dari sekian banyaknya mobil mewah, mata ku hanya tertuju pada satu mobil sport  mewah berwarrna biru muda yang dikacanya terdapat lubang seperti bekas peluru yang berposisi tepat sejajar dengan kursi pengemudi. Aku pun kaget dan langsung menangis.

"Nak, kamu yang sabar ya, Jakarta ini memang keras nak" kata mamahnya sembari memeluk ku lagi.

"Kenapa tante kenapa!!" tanya ku heran dan tak terima.

"Kata polisi yang menemukan, ada anggota TNI yang mobilnya tak sengaja tertabrak oleh Aji. Tanpa berpikir panjang, orang itu langsung mengarahkan tembakan kearah Aji dan menembakannya" jawab mamahnya.

Aku kaget dan tak tahu harus berkata apa. Aku sangat tak percaya jika semua ini dapat terjadi kepada Aji.

Semenjak kejadian itu, aku langsung bertekad akan setia kepada Aji. Walau ia sudah tiada, namun ku tak mau membuka hati untuk siapapun terutama Robi. Aku memetik pelajaran dari hal itu. Saat pasangan kita berada di dekat kita, kita akan merasa tak butuh dan cenderung akan rupa akan keberadaannya yang dekat itu. Namun jika jauh, kita cenderung akan menginginkan ia dekat dan merasa sangat membutuhkannya untuk berada di sini.

"Aji, I still love you my love...".


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer